Oleh Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA
Makalah disampaikan pada acara "Presentasi, Diskusi dan Exhibisi Qira’at Sab'ah
dalam rangka kegiatan Pra Dies Natalis Institut PTIQ Jakarta
di Masjid Istiqlal Jakarta pada hari Sabtu, 16 Oktober 1999
KAITAN ANTARA ILMU QIRA'AT DAN ILMU TAFS1R
Oleh : Ahsin Sakho Muhammad
Dalam studi tentang Al Qur'an, Ibnu Khaldun dalam "Mukaddimahnya membagi menjadi dua bagian besar yaitu Tafsir dan Ilmu Qira'at. Ibnu khaldun menguraikan dengan ringkas kedua ilmu tersebut dengan pengamatan dan pendekatan ilmu sosiologinya.
Melihat dari pembagian Ibnu Khaldum diatas , penulis ingin menjelaskan lebih gamblang lagi babwa Al Qur'an mempunyai dua sisi, yang pertama berkaitan dengan keredaksian dan yang kedua dari segi makna atau arti. Dari sisi keredaksian atau Lafazh atau teks, Ilmu yang membidangi hal ini adalah Ilmu Qira'ah. Sedangkan dari segi pemaknaan, ilmu yang membidanginya adalah ilmu Tafsir dan segala cabangnya.
Urgensi Ilmu Qira'at
Ilmu Qiro'at mempunyai sisi yang sangat strategis dibandingkan dengan ilmu ilmu lainnya, karena ia berkecimpung dalam penegakan teks-teks suci yang betul-betul mempunyai validitas yang tinggi dan bisa dipertanggung jawabkan, sehingga tidak satupun ilmu-ilmu keislaman kecuali ia akan menanyakan terlebih dahulu bagaimana teks yang benar dari satu ayat, setelah itu ia baru menggarapnya sesuai dengan cabang ilmu yang ia geluti.
Keterikatan ilmu ini dengan teks teks kitab suci menyebabkan pakar yang menggeluti ilmu ini harus ekstra hati-hati karena Al Qur'an adalah Kalamullah atau Sabda Allah, dengan demikian maka penetapan satu teks sebagai Al Qur'an atau menafikannya bukanlah hal yang mudah, tapi menuntut pertanggung jawaban baik dari segi keilmuan atau dari segi moral keagamaan.
Oleh karena peranannya yang demikian strategis inilah maka hampir setiap kitab-kitab Tafsir terutama yang klasik selalu mencantumkan bacaan teks Al Qur’an atau Qira'atnya.
Antara Qur'an dan Qiro'at.
Sebagian ulama sebagaimana Imam Zarkasyi membedakan antara Qur'an dan Qira'at, dikatakannya babwa Al Qur'an adalah "Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk menjadi penjelas (Bayan) atau petunjuk dan kemukjizatan” sedangkan Qira'at adalah perbedaan Al Fadz atau bacaan dari wahyu tersebut pada kalimat-kalimatnya seperti mentasydidkan huruf atau tidak mentasydidkannya"[1].
Namun Dr. Muhaisin menganggap tidak ada perbedaan antara Qur'an dengan Qira'at dan mengkritik Zarkasyi dengan alasan babwa definisi dari Ilmu Qira'at sendiri babwa Qira'at ( القرأت ) adalaا bentuk jamak (plural) dari (قرأة ( yaitu bentuk masdar yang sama dengan ( قرأن ( maka kedua istilah tersebut sebenarnya sama[2].
Namun menurut hemat penulis jika kita menilik berbagai macam qira'at sebagairnana yang dikemukakan oleh Imam Sayuthi, maka akan terlihat betapa banyaknya bacaan yang karena tidak memenuhi persyaratan kesahihan sebuah qira'at akhirnya tidak bisa dinamakan Al Qur'an, seperti Qira'at Syadzdzah.
Syarat Syarat diterimanya Qira'at.
Ibnu Jazari seorang abli penuntas masalah mas'alah Qira'at pada abad ke IX H, menjelaskan babwa Qira'at yang bisa diterima apabila telah memenuhi tiga kriteria, yaitu:
1. Sesuai dengan Rasm Utsmani,
2. Sesuai dengan tata babasa Arab,
3. Didukung oleh Sanad yang sahih.
Jika tidak memenuhi ketiga kriteria diatas maka qira'at tersebut tidak bisa diterima sebagai qira'at yang sahih, ia digolongkan dalam kelompok qira'at yang Syadz[3].
Untuk lebih jelasnya tentang ketiga persyaratan diatas, penulis akan menjelaskannya satu persatu.
Syarat pertama, jika ada satu qira'at walaupun didukung oleh sanad yang sahih, namun tidak sesuai dengan Rasm Utsmani atau tulisan Mushaf yang ditulis secara resmi pada masa sababat Usman bin Affan yang jumlannya enam buah itu, maka qira'at tersebut tidak bisa diterima. Contohnya adalah bacaan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas يا خالد كل سفينة صالحة dengan tambahan kata ( صالحة ) yang tidak terdapat pada Mushaf Utsmani[4]. Bacaan macam ini walaupun tidak diterima sebagai qira'at tapi bisa di konsumsi oleh kalangan mufassirin sebagai penafsir dari bacaan yang ada.
Syarat kedua, Jika sebuah bacaan tidak sesuai dengan tata babasa arab, maka juga tidak bisa diterima dengan alasan karena Al Qur'an adalah berbahasa arab. Maka jika tidak sesuai dengan tata babasa arab maka akan bertentangan dengan kenyataan diatas, hanya saja untuk melacak bacaan yang tidak sesuai dengan tata babasa arab dalam qira'at yang Syadz sokalipun tidaklah mudah. karena seringkali kita jumpai satu qira'at yang diingkari oleh kalangan ahli nahwu, tapi ternyata diterima sebagai bacaan yang valid dan sahih. Begitu juga sebaliknya adakalanya bacaannya Syadz tapi diterima dikalangan Ahli Nahwu bahkan kalangan ahli nahwu menyatakan babwa qira'at syadzdzah sekalipun bisa dijadikan hujjah atau dalil.[5]
Syarat yang ketiga adalah sahihnya sanad. Para ulama masih mendiskusikan hal ini, apakah cukup dengan kesahihan sanad saja atau harus mutawatir, mengingat salah satu keistimewaan al qur'an dibandingkan dengan hadis adalah bahwa ia harus mutawatir. Sebaliknya mereka yang mencukupkan dengan kesahihan sanad, menambahkan catatan babwa qira'at tersebut juga harus masyhur dikalangan ulama qira'at.[6]
Sebagai contoh, bacaan ( نستعين ) dengan mengkasrahkan ”nun”-nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Muthawwi'i[7], Bacaan ini seauai dengan Rasm Utsmani, sesuai dengan tata babasa arab, juga sahih, namun tidak masyhur. Oleb karena itu bacaan tersebut tidak diterima alias Syadz.
Melibat kriteria yang dikemukakan oleb Al Jazari beserta penjelasannya, Imam Sayuti membagi Qira'at menjadi 6 macam yaitu :
1. Mutawatir
2. Masyhur yang tidak sampai mutawatir
3. Ahad yaitu yang sahih sanadnya, tidak sesuai dengan rasm Mushaf,batau tidak sesuai dengan kaidab babasa arab, atau tidak masyhur.
4. Syadz yaitu yang tidak sahih sanadnya.
5. Maudlu' yaitu yang dibuat buat.
6. Mudraj yaitu bacaan sisipan dan tambahan seperti contoh qira'at yang tidak sesuai dengan rasm usmani.[8]
Dari keenam macam qira'at, yang bisa diterima dan boleh dibaca sebagai bacaan al qur'an adalah macam yang pertama dan kedua. sedangkan lainnya tidak boleh dibaca sebagaai bacaan al qur'an, karena tidak cukup syarat untuk menjadikannya sebagai bacaan al qur'an. Dengan melihat pembagian diatas, maka penulis cenderung untuk membedakan antara Qur'an dan Qira'at, sebab setiap qur'an adalah qira'at dan tidak sebaliknya, karena ada bacaan yang tidak dianggap qur'an , sebagaimana qira'at Ahad, syadz, mudraj dan maudlu'.
Qira'at yang mutawatirah dan Masyhurah.
Sudah menjadi pengetahuan yang luas dikalangan ahli qira'at, bahwa qira'at yang masuk dalam katagori Mutawatirah dan Masyhurah adalah qira'at Sab'ah dan Qira'at 'Asyrah, yaitu qira'at yang diriwayatkan oleh Imam tujuh dan Imam Sepuluh melalui perawi-perawi mereka yang masyhur. Mereka adalah : Nafi', Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu 'Amir, 'Ashim, Hamzah, Kisa'i ditambab dengan tiga Imam lagi yaitu Abu Ja'far, Ya'qub dan Khalaf.
Qira'at yang diriwayatkan selain mereka seperti qira'at imam empat yaitu: Ibnu Muhaishin, Al Yazldi, Hasan Basri dan A'masy, termasuk dalam qira'at Syadzdzah yang tidak boleh diyakini sebagai al qur'an.
Kaitan antara Qira'at dan Tafsir.
Perbedaan antara satu qira'at dengan lainnya mengindikasikan adanva versi dalam satu ayat, seperti kata al jazari : ان كل قرأة بمنزلة آية artinyab: "setiap qira'at sama dengan satu ayat".[9] Namun jika kita perhatikan qira'at qira'at yang ada bisa dikelompokkan menjadi dua bagian :
Pertama : Perbedaan qira'at hanya sebatas dialek saja yang tidak bepakibat pada perbedaan makna".
Kedua : Perbedaan qira'at yang mempunyai akibat adanya perbedaan makna.
Pada poin kedua inilah penulis akan menjelaskan lebih lanjut dengan membagi menjadi tiga kelompok :
Pertama : Kelompok Qira'at Mutawatirah yang terdiri dari Qira'at tujuh dan Qira'at sepuluh.
Kedua : Kelompok Qira'at Syadzdzah yang tidak bertentangan dengan Rasm 'Usmani.
Ketiga : Kelpmpok qira'at syadzdzah yang tidak sesuai dengan Rasm usmani.
Penjelasan rinci dari ketiga kelompok tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.
Pertama : Kelompok Qira'at, Mutawatirah.
1. Bacaan يَكْذِبُوْن ) ) Al Baqarah :10, bisa dibaca يُكَذِّبُوْن ) ) [10] Bacaan pertama memberikan arti bahwa mereka diazab oleh Allah disebabkan oleh kebohongan mereka sendiri. Sedangkan pada bacaan kedua memberikan arti bahwa mereka telah mendustakan Nabi Muhammad.
Rasyid Ridla dalam "Al Manar" 1/155 menjelaskan bahwa kedua bacaan tersebut bertujuan menggabungkan dua sifat yahudi yang jelek (Radzilah), yakni pertama kebohongan mereka mengaku beriman dan mendustakan Nabi Muhammad. kedua adalah penyebab dari sifat yang pertama, Mereka sebenarnya bohong terhadap diri mereka sendiri pada waktu mereka sendirian. mereka menyadari bahwa diri mereka bohong. Mereka juga bohong terhadap sesama mereka apabila bergabung dengan teman-teman mereka. Azab Allah akan ditimpakan kepada mereka karena kedua kedua perilaku tersebut yaitu ( الكذب ( dan ( التكذيب ).
Dengan melihat penjelasan tadi, nyatalah bahwa kedua bacaan tersebut membikin nuansa arti ayat tersebut menjadi luas.
2. Bacaan ( واذ وعدنا ) Al Baaarah :51, tanpa Alif setelah wawu, yaitu bacaannya Imam Abu 'Amr, Abu Ja'far dan Ya'qub. Imam-imam lainnya membaca (واذ واعدنا) dengan Alif setelah wawu.
Bacaan pertama mengisyaratkan bahwa janji itu datang dari satu pihak dan satu arah yaitu dari Allah kepada Mabi Musa. Sedangkan pada bacaan yang kedua mengindikasikan bahwa perjanjian itu datang dari dua arah yaitu dari pihak Allah berupa janji mewahyukan, sedangkan dari pihak Nabi Musa berjanji mendatangi tempat penurunan wahyu. [11]
Kedua bacaan tersebut saling monopeng dari segi arti. Bacaan kedua memberikan nuansa dan suasana kesepakatan bersama antara Khalik dengan Makhluknya, sohingga terlihatlah hubungan hormonis tersebut.
3. Bacaan وَلا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطَّهَّرْنَ )) Al Baqarah : 222 adalah bacaan Imam Syu’bah, Hamzah, Kisa'i dan Kholaf. Imam-imam lainnya membaca (حَتَّى يَطْهُرْن ). Bacaan pertama yang berosal dari kata (حَتَّى يَتَطَهَّرْن ) memberikan arti bahwa wanita haidl yang sudah terhenti darah haidlnya tidak boleh disebadani oleh suaminya, sampai wanita tersebut bebersih diri dengan cara mandi. Sedangkan pada bacaan yang kedua mengindikasikan bahwa wanita haidl boleh disebadani begitu darah haidlnya terhenti. Namun para ulama masih berselisih pendapat tentang hal ini. Sebagian mengatakan bahwa bacaan kedua inipun mengharuskan wanita tersebut mandi terlebih dahulu, sebab kata (فَاِذَاتَطَهَّرْن ( menjelaskan keharusan mandi tersebut. Kata (فَاِذَاتَطَهَّرْن ) mengandung arti ”Jika mereka (wanita haidl) itu sudah besih bersih diri” yang berarti sudah mandi. Pendapat ini dipegangi oleh ulama kalangan Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Pendapat kedua yaitu pendapat ulama kalangan Hanafiyyah, mereka berpendapat bahwa wanita haidl yang sudah terhenti darah haidlnya boleh di jima’ belum mandi, jika masa haidlnya sudah lebih dari sepuluh hari atau setelah masa terlama dalam haidl menurut mereka. Atau jika terhentinya darah haidl kurang dari sepuluh hari, maka kebolehan jima’ sebelum mandi, apabila setelah darah haidlnya terhenti dia tidak memanfaatkan waktu sisa yang cukup untuk mandi dan shalat, sampai waktunya habis dan belum sempat shalat.
Ulama hanafiyyah memandang bahwa hukuman mandi itu hanyalah sunnat saja untuk melepaskan diri dari khilaf ulama.[12]
Ternyata perbedaan bacaan (qira'at) akan mengakibatkan perbedaan dalam menetapkan hukum. Hasih ada lagi contoh-contoh yang semacam ini.
4. Bacaan أمرنا مترفيها ) ( Al Isra :16 dibaca oleh Imam Ya’qub, salah seorang dari Imam qira'at sepuluh, dengan) آمرنا ( Bacaan pertama mempunyai arti jika Allah hendak menghancurkan satu kaum, maka Allah menyuruh mereka (diambil dari kata) آمرنا ( untuk taat, tetapi mereka durhaka, maka datanglah siksa dan adzab Nya,
Sedangkan bacaan kedua) آمرنا ( memberikan arti bahwa Allah akan memperbanyak orang orang yang hidup mewah مترفيها ) ) orang arab mengatakan : ) آمرته ( dengan arti ( كَثَّرْتُه ) atau aku menjadikannya banyak.[13] Dengan adanya qira'at ini maka ada nuansa baru tentang arti ayat tersebut, yaitu bahwa salah satu penyebab rusaknya satu kaum, apabila banyaknya orang-orang zalim yang hidup bermewah-mewahan.
Kedua : Kelompok Qira'at Syadzdzah yang tidak bertentangan dengan Rasm.
1. Bacaan ( مالكِ يوم الدين ) Al Fatihah : 4 dibaca ( مالكَ يوم الدين ) oleh Imam Al Muthawwi'i perawi imam Al A’masy.
Bacaan ini ada dua kemungkinan, pertama berarti : Aku memuji Zat yang memiliki hari kemudian ( مالكَ يوم الدين امرح). Kedua dengan arti : Wahai Pemilik hari kemudian ( مالكِ يوم الدين يا ) Panggilan terhadap Allah ini sebagai persiapan menghadapi ayat berikutnya yaitu : ( ايّاك نعبد ).
Dengan demikian maka arti lengkapnya adalah : Wahai Pemilik hari kemudian, kepada-Mu lah aku mengabdi dst. [14]
2. Bacaan ( لقد جاءكم رسول من أنفُسكم) Yunus : 128 dibaca (من أنفَسكم) oleh Imam Ibnu Muhaishin. Dengan dibaca fathah fa’nya.
Bacaan ini mempunyai arti : bahwa Nabi Muhammad itu berasal dari orang yang paling mulia diantara kamu من اشرفكم terambil dari kata yang artinya mulia, bagus, indah dsb.[15]
Dari qira'at ini ada nuansa baru dalam mengartikan ayat tersebut, yaitu tentang jati diri Nabi Muhammad. yang berasal dari orang yang termulia dan terbaik dari kaumnya,
Penulis cukupkan dengan dua bacaan itu saja. masih banyak lagi bacaan-bacaan yang menyumbangkan dan memperkaya penafsiran Al Qur'an.
Ketiga : Bacaan Syadz yang tidak sesuai dengan Rasm.
1. Bacaan : ( فصيام ثلاثت ايّام ) Al Ma'idah : 86, Dalam bacaan Ubai dan Ibnu Mas'ud ada tambahan kata متتابعات sehingga di baca : فصيام ثلاثت ايّام متتابعات
Bacaan Ibnu Mas'ud ini dipandang oleh Abu Hanifah sebagai "Qayyid" atau pengikat dari kemutlakan Iafadz ( ثلاثت ايّام ) Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah,Tsauri, salah satu dari qaul Imam Syafi'i yang juga dipilih oleh Imam Muzani, bahwa berpuasa tiga hari sebagai denda atau kifarat, haruslah berturut turut tanpa jeda. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi'i pada qaul yang lain, tidak melihat keharusan berpuasa berturut turut, sebab "Qayyid" bertutut-turut adalah satu keadaan yang jika ada hukum wajib haruslah berdasarkan Nasnya, dikiaskan kepada suatu yang sudah ada Nashnya, padahal keduanya tidak pernah ada, maka berturut-turut dalam berpuasa tidaklah wajib. Qira’atnya Ibnu Mas'ud bukanlah Qur'an, sehingga tidak bisa dijadikan pijakan dalam hukum syara'.
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wajibnya berturut-turut dalam berpuasa sebagai kifarat (denda) melanggar sumpah, dikiaskan kepada Kifarat Dzihar ( كفارة ظهار ) yaitu berpuasa dua bulan lamanya secara berturut turut, sebagaimana Sabda Allah :(فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين ) Al Mujadilah :4
Sedangkan mengenai qira'atnya Ibnu Mas'ud, walaupun ia merupakan qira'at Syazdzah, tapi minimal ia diriwayatkan oleh salah seorang sahabat yang dipandang Tsiqah dan dapat dipercaya. maka minimal ia bisa dimasukkan dalam hadis Ahad, yang bisa dijadikan hujjah.[16]
2. Bacaan ( حافظوا على الصلوات والصلات الوسطى ) Al Baqarah : 283 dalam satu bacaan (qira'at) yang diriwayatkan oleh ditambahkan kata (وصلاة العصر ) Bacaan ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan الصلات الوسطى adalah Shalat Asar. inilah qaul yang dipilih oleh jumhur, disamping adanya bacaan tersebut Jumhur juga mendapatkan riwayat dari hadis yang mendukung pendapat mereka.
Penutup.
Dari ketiga kelompok qira'at, baik itu yang mutawatir ataupun yang Syadz, bisa kita lihat bahwa dengan melihat bacaan-bacaan yang lain maka pengertian terhadap satu ayat menjadi scmakin luas, Hal ini pada satu sisi menunjukkan kehebatan Al Qur'an yang mampu untuk memvariasikan bacaan-bacaannya, tanpa kehilangan sifat kemukjizatannya.
Adanya tambahan arti pada qira'at lain terkadang juga menyangkut hukum, hanya saja apakah hukum tersebut langsung diambil dari qira'at tersebut atau harus pula melihat dalil-dalil lain, seperti hadits dll. Namun yang harus diakui bahwa adanya perbedaan qira'at, memang telah mengakibatkan perbedaan pendapat diantara Ulama madzahib fiqh juga pada ulama madzhab Aqidah.
Para penafsir al qur1an yang melakukan pendekatan penafsirannya melalui pendekatan sastra (balaghi) perlu berhati-hati dalam memberikan keterangannya, sebab apa yang telah dia putuskan dalam memberikan arti pada satu lafazh dan segala konsekwensinya, harus meninjau kembali pernyataannya jika ia melihat ada qira'at lain yang menjungkir balikkan teorinya. dengan kata lain dia akan terkecoh.
Salah satu kelompok dalam islam bersi keras bahwa ayat وخاتم النبية surat Al Ahzab : 40 yang dibaca fathah Ta'nya memberikan arti bahwa lafazh (خاتم) yang berarti cincin tidak berarti bahwa Mabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman, sebab kata (خاتم) boleh jadi berarti yang mulia dan menonjol atau terhormat. Namun jika melihat pada bacaan (خاتم) denga mengkasrahkan ta’nya yang diriwayatkan oleh Imam tujuh selain 'Ashim maka menjadi jelas bahwa maks'udnya adalah Nabi terakhir yang tidak ada lagi Nabi sesudahnya. Dengan demikian dan dengan melihat dua bacaan tersebut terlihat dua arti yang paling mendukung.
Bacaan-bacaan yang tidak mempunyai alternatif makna lain, juga sangat bermanfaat bagi mereka yang mengadakan studi dialek / Lahjah arab. Dengan mengetahui itu maka akan terkuak macam-macam dialek orang arab pada saat Al Qur’an diturunkan. Al Qira'at dengan demikian merupakan rekaman paling baik untuk mempelajari dialek.
Mudah mudahan tulisan ini bisa menggugah pecinta al qur’an untuk mendalami al qur'an dari segi qira'atnya. Semoga.....
[1] Lib. Al It-qan , Assayuthi , 1/ 82
[2] Lib. Muhaisin, Fi Rihabil Qur'an , 1/209
[3] Lib. Al Jazari , Annasyr.1/9
[4] Al Jazari, Ibid
[5] Lib. Assayuthi, Al Iqtirah
[6] Al Jazari, Op Cit h. 13
[7] Lib.Dimyathi, Al Itbaf, h. 122
[8] Al Itqan 1/79
[9] Annasyr 1/52
[10] Bacaan pertama adalah bacaannya Imam 'Ashim, Hamzah dan Kisa’i, begitu juga Imam Khalaf. Sedangkah bacaan kedua adalah bacaan Imam Nafi', Ibnu Katsir, Abu 'Amr, Ib'nu 'Amir, Abu Ja'far dan Ya'qub.
[11] Lih. Al Banna, Al Ithaf, hal. 135-136 dengan menukil dari Tafsir Al Bahrul Muhith
[12] Lih. Wahbah Azzuhaili, Al Fiqh Al Islami I/474
[13] Lih. Assyaukani, Tafsir Fathul Qadir III/214
[14] Lih. Al Banna. Al Ithaf, h. 122
[15] Lih. Al Ithaf, h. 246
[16] Lih. Al Qurthubi, Al Jami' Li Ahkamnil Qur'an, VI/ 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar