TAFSIR BIL MA'TSUR DAN RELEVANSINYA.
Oleh : Ahsin Sakho Muhammad
Makalah ini disajikan pada acara Workshop yang diselenggarakan oleh Divisi Tafsir Program Unggulan IIQ, kerjasama IIQ dan Depag, pada tanggal 21 Januari 2009 di IIQ Jakarta.
Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi segenap umat manusia. Sebagai kitab petunjuk Al-Qur'an perlu dihayati artinya (tadabbur) untuk selanjutnya dijadikan pedoman hidup bagi segenap manusia. Al-Qur'an sebenarnya telah dijadikan oleh Allah sebagai kitab yang mudah, baik dari segi pemahamannya maupun dari menghapalnya, namun demikian Al-Qur'an masih tetap memerlukan penafsiran karena beberapa hal, antara lain: Pertama : redaksinya yang ringkas, padat, tapi mempunyai kandungan yang demikian banyak. Kedua : banyak hal yang masih bersifat global (mujmal) yang masih perlu penjelasan lebih lanjut. Ketiga : kandungan sasteranya yang tinggi, memuat banyak kiasan, metaforis, dan lain sebagainya. Keempat : banyak ungkapan yang mempunyai beberapa kemungkinan arti. Kelima : banyak ungkapan yang terkait dengan khazanah kebahasaan orang arab jahili. Melihat beberapa faktor diatas Al-Qur'an masih perlu untuk ditafsirkan dan diberi komentar dan penjelasan agar bisa dipahami secara lebih rinci lagi. Namun untuk menafsirkan Al-Qur'an tidaklah begitu mudah karena diperlukan seperangkat alat dan informasi agar pemahaman terhadap Al-Qur'an lebih akurat lagi. Tanpa menggunakan perangkat yang diperlukan untuk menafsirkan Al-Qur'an, hasil penafsiran tidak mempunyai kredibilitas yang bisa dipertanggung jawabkan. Nabi bahkan mengecam mereka yang menafsirkan Al-Qur'an hanya dengan mengandalkan ra'yu (rasio) semata.
Sumber sumber Penafsiran Al-Qur'an.
Dalam menggali isi kandungan Al-Qur'an seseorang bisa menggunakan dua cara yaitu pertama dengan menggali dari sumber sumber yang ada sebelumnya. Penafsiran model ini disebut dengan penafsiran bil Ma'tsur. Kedua : dengan penafsiran bil Ijtihad atau bir Ra'yi, yaitu dengan menggunakan nalar seorang mufasir setelah melihat dari berbagai macam segi, antara lain segi bahasa.
Tafsir Bil Ma'tsur.
Atsar adalah bekas, jejak atau peninggalan dari masa lalu. Piramid di Mesir adalah peninggalan dari dinasti Pharao. Candi Borobudur di Indonesia adalah peninggalan dari dinasti raja yang mengikuti ajaran Budha Gautama. Perkataan Nabi dan para sahabatnya adalah peninggalan yang ditinggalkan oleh Nabi dan para sahabatnya dalam memahami ajaran islam. Tafsir bil Ma'tsur adalah menafsirkan Al-Qur'an dengan penjelasan yang menyertai ayat yang sedang ditafsirkan. Termasuk didalamnya adalah dengan ayat Al-Qur'an yang lain atau dengan hadis Nabi, perkataan para sahabat Nabi dan perkataan tabi'in.
Penafsiran satu ayat dengan melihat ayat lain yang satu nafas dengannya adalah satu keharusan, karena apa yang dikemukakan dalam satu ayat secara global seringkali ada penjelasannya pada ayat lain. Seperti kisah tent ang Nabi Musa pada satu surah di kemukakan secara ringkas sebagaimana pada surah an-Nazi'at, dijelaskan pada surah lainnya seperti pada surah asy Syu'ara', al-A'raf dan lainnya. Begitu juga dengan kisah penciptaan Nabi Adam.
Tafsir Qur'an dengan Al-Qur'an
Penafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an mencakup tiga hal: Pertama: menafsirkan Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an lainnya sebagaimana kisa Nabi Musa diatas. Kedua : menafsirkan Al-Qur'an dengan Qira'at lainnya yang sama sama mutawatir, seperti ada dua bacaan yang berbeda dan mempunyai makna yang berbeda pula tapi bisa digabungkan, seperti bacaan : ولاتقربوهن حتى يَطْهُرْن dan حتى يَطهَرْن. Bacaan pertama mengandung arti bahwa seorang isteri tidak boleh di gauli oleh suaminya sampai dia terhenti darah haidnya. Bacaan kedua member pengertian bahwa isteri tersebut tidak boleh di gauli sampai betul betul suci yaitu setelah mandi. Kedua bacaan tersebut bisa digabungkan yaitu isteri tersebut baru boleh digauli setelah darahnya terhenti dan telah mandi. Ketiga : menfasirkan ayat Al-Qur'an dengan Qira'at yang Syadzdzah. Qira'at Syadzdzah adalah bacaan yang tidak mutawatir dan tidak masyhur dikalangan ahli qira'at. Termasuk didalamnya adalah Qira'at yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang yang tidak sampai mutawatir, atau tidak sesuai dengan Rasm Usmani. Contohnya adalah bacaan :
(حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى صلاة العصر ). ( ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم فى مواسم الحج ) ( فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام متتابعات ) ( يا أيها الذين آمنوا اذا نودى للصلاة من يوم الجمعة فامضوا الى ذكر الله )
Bacaan bacaan tersebut bisa dijadikan bahan masukan bagi seorang mufasir dalam menafsirkan ayat ayat tersebut. Abu Hayyan dalam tafsirnya "al-Bahr al-Muhith" selalu menyebut bacaan bacaan tersebut sebagai "Qira'at Tafsiriyah" atau qira'at yang berfungsi sebagai tafsir. Qira'at Syadzdzah walaupun tidak bisa dikatakan Al-Qur'an, minimal bacaan tersebut berasal dari sahabat. Imam Abu Hanifah lebih mengutamakan riwayat sahabat walaupun berstatus ahad dari pada ra'yu. Oleh karena itu Abu Hanifah menggunakan qira'at syadzdzah dalam menetapkan satu hukum. Dengan demikian seorang mufasir perlu melihat qira'at lain yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkan agar bisa mendapatkan tambahan informasi.
Hadis Nabi.
Hadis Nabi merupakan sumber utama dalam memahami ayat ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an sendiri telah memberikan justifikasi terhadap hal ini melalui Firman Allah : ( وأنزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ). Imam Syafi'I mengatakan : (جميع ما حكم به النبى صلى الله عليه وسلم فهو مما فهمه من القرآن )bahwa keputusan hukum Nabi adalah hasil ijtihad Nabi terhadap ayat ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai kitab hidayah banyak memberikan pernyataan yang bersifat global saja. Allah memberikan kesempatan kepada Nabi untuk menjelaskan lebih jauh tentang apa yang dikehendaki oleh Allah dari ayat tersebut. Dengan demikian terjadi dialektika yang demikian harmonis antara Al-Qur'an dan Hadis Nabi.
Persoalan yang terkait dengan hal ini adalah bahwa pertama : apakah Nabi menafsirkan seluruh Al-Qur'an ? Ibnu Taimyah meyakini bahwa Nabi menjelaskan seluruh ayat Al-Qur'an. Tapi pendapat lain mengatakan tidak demikian. Menurut hemat penulis bahwa Nabi banyak melakukan penafsiran terhadap Al-Qur'an secara redaksional, tapi tidak semuanya. Karena dalam faktanya tidak semua ayat ada penafsirannya dari Nabi. Namun demikian Jika apa yang dilakukan oleh Nabi dari semua perkataannya, perilakunya adalah sebuah penafsiran terhadap Al-Qur'an, maka Nabi sebenarnya sudah menafsirkan keseluruhan Al-Qur'an sebagaimana apa yang ditegaskan oleh Al-Qur'an. Siti Aisyah sendiri mengatakan bahwa budi pekerti Nabi adalah persis sebagaimana apa yang dijelaskan dalam Al-Qur'an. Dalam arti lain Nabi adalah personifikasi Al-Qur'an atau Al-Qur'an yang berjalan.
Persoalan berikutnya adalah bahwa apakah sejumlah riwayat yang dikemukakan oleh penafsir yang beraliran al-Ma'tsur seperti Ibn Katsir adalah memang penafsiran Nabi terhadap ayat ayat tersebut atau hasil ijtihad penafsir sendiri yang berusaha mensingkronkan antara hadis Nabi dan ayat yang ditafsirkan. Menurut hemat penulis, tidak semua hadis yang dibawakan Ibn Katsir adalah memang penafsiran Nabi terhadap ayat tersebut secara redaksional, tapi lebih pada ijtihad seorang Ibn Katsir yang melihat adanya persesuaian antara ayat dan hadis tersebut. Ibn Katsir setelah melihat hadis hadis tersebut dari sumbernya mempunyai kesamaan dengan nafas ayat yang sedang di tafsirkan. Walaupun demikian kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Ibn Katsir yang melakukan ijtihad yang bermanfaat ini. Karena bagi penafsir berikutnya tidak perlu lagi mencari hadis hadis nabi dari sumber rujukan. Apalagi Ibn Katsir sebagai seorang pakar hadis, mampu membedakan mana hadis yang sahih dan yang tidak.
Persoalan berikutnya lagi adalah apakah penafsiran Nabi terhadap satu ayat Al-Qur'an adalah satu satunya penafsiran terhadap ayat tersebut ?atau salah satunya saja? Menurut hemat penulis, jika penafsiran tersebut menyangkut nama seseorang atau sesuatu yang tidak bisa ditelusuri oleh ijtihad, maka penafsiran tersebut adalah satu satunya. Namun jika ungkapan Al-Qur'an masih menyimpan banyak kemungkinan arti, maka penafsiran Nabi adalah salah satunya saja. Dengan demikian masih ada ruang gerak bagi mufasir untuk mengeksplorasi ayat tersebut secara lebih luas lagi. Sebagai contoh : kata ( المغضوب عليهم ) ( الضالين ) dijelaskan oleh Nabi sebagai Yahudi dan Nasrani. Namun yang dibenci oleh Allah adalah bukan tertuju kepada kedua kelompok diatas, tapi kominitas mana saja yang bersikap seperti kedua kelompok diatas.
Jika penafsiran Nabi merupakan sumber utama, maka unsur ke hati hatian dalam meghadirkan teks hadis merupakan satu keharusan. Sebab boleh jadi hadis yang ada mempunyai kwalitas yang tidak memenuhi standar. Boleh jadi riwayat yang ada bukan berasal dari sumber yang bisa dipertanggung jawabkan, seperti berasal dari sumber Yahudi dan Nasrani (israiliyat). Boleh jadi adanya ketidak tepatan dalam menempatkan antara ayat dan hadis, karena situasi dan kondisi yang berbeda.
Perkataan Sahabat.
Perkataan sahabat Nabi termasuk sumber yang layak dijadikan rujukan )oleh para mufasir, mengingat mereka adalah orang yang mengetahui situasi dan kondisi pada saat ayat ayat Al-Qur'an diturunkan. Namun perlu dijelaskan disini tentang perkataan sahabat ini.
a.Jika pernyataan mereka terkait dengan segi kebahasaan, maka perkataan mereka layak untuk diterima mengingat mereka adalah orang arab asli yang sangat tahu tentang seluk beluk bahasa arab.
b.Jika pernyataan mereka berkaitan dengan sabab nuzul, maka informasi ini sangat berharga untuk dipelajari untuk memahami kandungan ayat yang sedang ditafsirkan.
c.Jika berkaitan dengan sesuatu yang tidak bisa ditelusuri melalui ijtihad (ما لامجال للرآى فيه ), juga di terima, karena mereka pasti mendapatkannya dari sumber yang valid yaitu dari Nabi.
d.Jika pernyataan mereka terkait dengan pemahaman mereka terhadap ayat Al-Qur'an, dilihat dulu, jika ada kesepakatan diantara para sahabat, bisa diterima. Jika tidak ada kesepakatan, maka kita boleh memilih salah satu diantara pendapat mereka. Tapi yang jelas tidak ada perkataan yang saling bertentangan, tapi lebih pada perbedaan pendapat yang bisa ditoleransi. Pemahaman para sahabat terhadap ayat Al-Qur'an sangatlah berarti mengingat tingkat ketakwaan mereka yang tinggi, pengetahuan mereka tentang seluk beluk bahasa arab, dan kedekatan mereka dengan Nabi. Sekali lagi pemahaman mereka terhadap ayat Al-Qur'an adalah salah satu saja dari sekian banyak pemahaman yang bisa diambil dari satu ayat. Masih banyak lagi pemahaman lain yang bisa digali dari satu ayat selama redaksi yang ada masih memungkinkan pemahaman yang lain. Karena –sebagaimana penjelasan terdahulu- bahwa Al-Qur'an dengan redaksi yang sedikit mempunyai kandungan arti yang banyak.
Perkataan Tabi'in.
Perkataan tabi'in masih diperselisihkan diantara para ulama, apakah bisa untuk menafsirkan Al-Qur'an atau tidak ? banyak ulama yang menggunakan perkataan tabi'in untuk menafsirkan Al-Qur'an. Dalam realitanya hampir seluruh tafsir bil ma'tsur menggunakan tafsir tabi'in. bahkan penulis bisa mengatakan bahwa pada masa tabi'in ilmu tafsir berkembang dengan pesat. Terutama murid murid Abbas seperti Mujahid, Sa'id bin Jubair, "Atha' bin Abi Rabah dan lainnya. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya riwayat dari tabi'in yang secara kwantitas jauh melebihi dari tafsir dari generasi sahabat. Tabi'I juga mempunyai keberaniaan untuk memberikan komentar (penafsiran) terhadap ayat ayat Al-Qur'an. Jika tafsir dari kalangan tabi'in tidak dijadikan rujukan maka kita akan kehilangan banyak sekali informasi tentang tafsir.
Restrukturisasi Tafsir Sahabat dan Tabi'in.
Pada saat ini kita bisa mereview tafsir sahabi dan tabi'I yaitu dengan mengumpulkan kembali riwayat dari mereka melalui tafsir tafsir bil ma'tsur yang ada saat ini seperti tafsir Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, Ibn Katsir dan lain sebagainya. Fuad Sizkin dalam kitabnya "tarikh at-Turats al-'Arabi" memberikan metode penelusuran ini yaitu melaui sanad yang bermuara pada mereka. Sizkin bahkan bisa menghitung jumlah riwayat dari generasi sahabat dan tabi;in dalam angka. Persoalannya adalah perlunya melihat kembali kesahihan sanad sanad tersebut. Karena tidak semua sanad mempunyai kwalitas yang sama. Sanad tafsir Ibn Abbas sendiri mempunyai sanad yang cukup banyak. Dari sanad sanad tersebut hanya beberapa saja yang sahih seperti riwayat Ali bin Abi Talhah. Dengan metode ini kita bisa melihat kembali tafsir sahabi dan tabi'I secara lebih komprehensip.
Signifikasi Tafsir bil Ma'tsur.
Pada saat ini tafsir bil ma'tsur masih tetap signifikan untuk dijadikan referensi dalam menafsirkan Al-Qur'an dan bahkan menjadi rujukan utama, mengingat tafsir tersebut merupakan informasi awal dari tangan pertama dan kedua terhadap ayat Al-Qur'an. Hal ini sudah tentu sangat signifikan. Hanya saja mufasir masa kini tidak saja mencukupkan diri dengan riwayat riwayat tersebut tapi perlu mengembangkan pemahaman terhadap ayat ayat Al-Qur'an dengan memperhatikan perubahan yang ada pada masyarakat, nilai nilai abadi dan universal yang ada pada satu ayat. Mufasir bil ma'tsur juga perlu menyeleksi riwayat yang ada. Pengertian seleksi disini bisa berarti dari segi kwalitas riwayatnya atau dari ketepatan menempatkan satu riwayat yang signifikan dengan ayat yang ada. Banyaknya riwayat yang ada bukan berarti semuanya bisa ditampilkan, tapi hanya beberapa riwayat yang signifikan untuk ditampilkan.
Mufasir masa kini juga tidak bisa mencukupkan diri dengan riwayat yang ada. Tapi perlu juga menggunakan tafsir birra'yi yang bisa dipertanggung jawabkan. Kedua metode penafsiran tersebut tidak boleh dipertentangkan, tapi malah justeru harus saling sinergi antara keduanya. Tafsir generasi salaf sangat menjunjung nilai nilai agama dan etika. Inilah yang perlu dijadikan pegangan bagi penafsir masa kini.
Mufasir masa kini dituntut untuk selalu mencari sisi hidayah dari ayat ayat Al-Qur'an, menghindarkan dari persoalan keilmuan yang bertele tele yang bisa memalingkan pembacanya dari hidayah al-Qur'an. Persoalan keilmuan bisa dilakukan selama penjelasan tersebut akan membantu dalam memahami ayat yang sedang di tafsirkan. Tidak sampai kepada uraian panjang lebar yang tidak ada kaitannya dengan ayat yang sedang di tafsirkan.
Penutup.
Dari uraian diatas bisa disimpulkan beberapa hal :
Pertama : Tafsir bil Ma'tsur masih tetap televan untuk dijadikan rujukan dalam menafsirkan Al-Qur'an masa kini.mengingat tafsir bil ma'tsur merupakan bahan yang sangat berharga dalam memahami Al-Qur'an.
Kedua : untuk menggunakan tafsir bil ma'tsur perlu menyeleksi riwayat yang ada dari segi kwalitasnya. Jangan sampai menggunakan riwayat yang lemah.
Ketiga: menghindarkan diri dari israiliyat kecuali dalam persoalan yang tidak menyentuh ajaran agama islam, seperti tentang data sejarah dan hal yang seperti itu.
Keempat: tafsir bil ma'tsur bukanlah satu satunya penafsiran terhadap Al-Qur'an tapi hanya salah satu dari berbagai makna yang terkandung di dalam redaksi Al-Qur'an. Dengan demikian mufasir masih mempunyai gerak lebih luas dalam mengambil makna dari ayat Al-Qur'an.
Kelima: penafsir perlu melihat nilai nilai hida'i yang terkandung pada tafsir bil ma'tsur untuk menatap masyarakat masa kini, sebagai langkah untuk memberikan pencerahan dengan nilai nilai tersebut.
Keenam: riwayat yang ada tidak mesti di tuangkan semuanya, tetapi dipilih mana riwayat yang signifikan untuk dikemukakan dalam menafsirkan ayat dan mana yang tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar