Selasa, 01 Maret 2011

INDAHNYA HIDUP BERSAMA AL-QUR'AN

oleh: KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad

 Pendahuluan
 Dalam kata pengantar Tafsirnya yang sangat terkenal yaitu "Fi-Zhilal Al-Qur'an", Sayyid Quthb menuturkan ungkapan demikian :
الحياة فى ظل القران نعمة, نعمة لايغرفها الا من ذاقها, نعمة ترفع العمر وتباركه وتزكية

Dari ungkapan diatas Sayyid Quthb mengatakan bahwa hidup di bawah naungan Al-Qur'an adalah satu kenikmatan, yang hanya bisa dirasakan oleh manusia yang mampu mencicipinya. Satu kenikmatan yang menjadikan kehidupan atau umur seseorang akan terangkat, membawa berkah atau kebaikan, dan sekaligus menjadikannya bersih dan suci.

Setelah muqaddimah yang pendek ini Sayyid Quthb lalu menjelaskan lebih gamblang lagi, seakan-akan ingin menjelaskan apa yang ia katakan tersebut. Ia katakan bahwa manusia baik yang ada di timur maupun yang di belahan bumi sebelah barat, tanpa ada sentuhan Al-Qur'an akan terpuruk dalam ke"Jahiliah"an. Namun berkat Al-Qur'an, manusia terangkat pada satu derajat yang tinggi.
Selanjutnya Sayyid merasa heran akan gerakan alam semesta yang demikian teratur dengan tingkah laku manusia yang amburadul, yang sudah melenceng dari "fitrah"nya. Apa gerangan yang menjadikan manusia demikian?.
Sayyid menekankan lagi bahwa wujud bukanlah wujud yang kita rasakan sekarang ini. wujud adalah sesuatu yang sangat besar, ia gabungan dari dua alam yaitu alam yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, ia adalah alam dunia dan akhirat. Kematian adalah bukan akhir dari segalanya. Masih ada alam yang akan dihadapi oleh manusia yaitu alam akhirat, dimana setiap insan akan mendapatkan balasannya disana dan pada akhirnya ia akan berhadapan dengan sang Khalik.

Selanjutnya Sayyid Quthb menjelaskan tentang kedudukan manusia yang demikian tinggi dibandingkan dengan makhluk lain. ia adalah makhluk yang kehidupannya berasal dari hembusan roh yang ditiupkan Allah kepadanya. Oleh karena itu daya ikat antar manusia yang sangat kuat adalah bahwa manusia kesatuan akidah atau mentauhidkan Allah.

Seorang mukmin, punya nasab atau ikatan persaudaraan yang jauh terpuruk kebelakang zaman kehidupan manusia yaitu semenjak dari zaman Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW.
Dalam kehidupannya seorang mukmin dimanapun juga menghadapi berbagai macam tantangan seperti kesesatan, keserakahan dan penindasan, namun ia akan terus maju untuk mempertahankan akidahnya dengan penuh kepercayaan diri akan kemenangan yang telah dijanjikan Allah.

Selanjutnya Sayyid mengatakan lagi bahwa dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang namanya "kebetulan" namun segala sesuatu pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Namun hakikat hikmah itu sendiri terkadang tidak bisa dirasakan oleh mereka yang mempunyai pandangan yang kerdil.
Teori yang sudah berkembang yaitu teori "Sebab-Musabbab" tidaklah satu keniscayaan, namun semuanya itu tergantung pada kemauan Sang Khalik untuk merealisasikan sesuatu tersebut atau tidak.
Seorang mukmin diperintahkan untuk berusaha, namun pada akhirnya Allah jualah yang menentukan hasil jerih payahnya. Oleh karena itu seorang mukmin akan merasakan ketenangan yang luar biasa atas rahmat dan keadilan Allah. 

Semua pandangan yang dikemukakan diatas adalah hasil perenungan Sayyid yang mendalam berbagai tesis yang dikemukakan oleh Al-Qur’an. Itulah sebabnya mengapa Sayyid sangat menikmati hidup bersama Al-Qur’an dan merasakan kedamaian bersama Al-Qur’an.
Penulis sengaja memaparkan panjang lebar pandangan Sayyid Quthb dalam Tafsirnya, karena itulah beberapa inti atau esensi pandanan Al-Qur’an terhadap kehidupan. Dengan menghayati pandangan-pandangan ini, kehidupan seorang mukmin menjadi indah dan penuh kedamaian.

Jika hal tersebut berkaitan dengan pandangan seorang Sayyid Quthb , masih ada pandangan lain yang berkaitan dengan keindahan hidup bersama Al-Qur’an yang akan penulis paparkan di bawah ini.
Pertama : Al-Qur’an adalah kitab suci yang indah bahasanya.
Al-Qur’an terdiri dari dua unsur utama yaitu pertama teks dan kedua adalah kandungannya. Dari sisi pertama, teks Al-Qur’an sangatlah luar biasa. Susunan bahasanya yang mempunyai daya pikat yang tinggi karena ketinggian nilai sasteranya. Oleh karena itu semenjak Al-Qur’an diturunkan dan sampai kapanpun, tidak ada manusia bahkan jin atau kedua-duanya yang mampu mengalahkan keindahan sastera Al-Qur’an. Al-Qur’an bahkan menantang siapapun untuk bisa mendatangkan redaksi semisal Al-Qur’an, atau seperti sepuluh surah dan bahkan seperti keindahan satu surah Al-Qur’an. Otak manusia rasanya sudah mandul atau tumpul untuk bersaing dengan keindahan bahasa Al-Qur’an. Sejarah telah membuktikan ketidakmampuan manusia menyamai redaksi Al-Qur’an. Justru banyak kalangan yang pasrah dan menerima kenyataan ini.
Seorang seperti Thaha Husein yang dijuluki sebagai “Amid Al-Adab Arabi” atau tonggak sastera arab masa kini sewaktu ditanya tentang kitab mana yang ia kagumi dari kitab-kitab yang telah ia baca, ia menjawab dengan singkat : “Al-Qur’an”.

Namun demikian, untuk merasakan keindahan bahasa dan ketinggian sastera Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya, seseorang perlu mempunyai satu “Dzauq ‘Arabi” atau “Rasa Bahasa” arab yang tinggi dalam jiwanya sehingga ia mampu menangkap dengan baik sisi keindahan bahasa Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dicapai jika seseong telah terbiasa membaca sya’ir-sya’ir arab yang mempunyai nilai sastera yang tinggi seperti sya’ir-sya’ir jahili (pra Islam) seperti sya'ir-sya'ir Imri'il Qais, Ka'b bin Zuhair, Zuhair bin Abi Sulma, Nabighah Adzibyani dan lain-lainnya. Atau juga sering membaca essai yang mempunyai nilai sastera yang tinggi pula seperti "Nahjul Balaghah"nya Ali bin Abi Thallib, atau "Maqamat Al-Hariri" atau lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar